gua berpaling kemudian menghampiri seorang pria yg tengah menyiapkan air minum untuk para karyawan dan mencoba bertanya kepadanya, dimana ruangan bu tia. pria yg gua tanya mengantarkan gua ke ruangan bu tia, dan ternyata yg bersangkutan belum hadir. pria tadi mengantar dan mempersilahkan gua menunggu di sebuah ruangan kecil dekorasi ruang tamu yg terlihat nyaman dan bersih, gua duduk di sebuah sofa kulit berwarna hitam, sambil mengagumi kenyamanan sofa yg gua duduki sekarang, gua nggak henti-henti mekutuki cowo tengil tadi.
seorang cowo dengan tipikal sombong dan arogan, yang gak bisa menghargai wanita. hampir sama dengan banyak tipe cowo yang dulu sempet deket dengan gua, menghabiskan waktu dan uangnya untuk merayu gua. tapi, setelah mengetahui lebih dalam tentang gua, tentang kondisi hidup gua, tentang gua yang anak yatim, tentang ibu gua yang ternyata seorang kuli cuci, mereka seakan lupa pernah mengenal gua, seakan membiarkan uang dan waktunya terbuang percuma untuk merayu seorang gadis yatim dan miskin, yang seperti gak ada nilai tawarnya.
dan sejak terakhir kali cowo hadir dalam hidup gua dan kemudian mengabaikan gua begitu tau detail hidup gua. gua coba menutup hati dari cowo manapun, ya at least sampai gua bisa berdiri dengan kaki gua sendiri dan berhenti bergantung pada ibu.
"life is like skydiving and mind is like parachute, if it doesn't open then youre fucked, totally fucked"
mostly, semua orang yang gua kenal, entah itu temen, sahabat atau bekas pacar sekalipun, semua orientasinya hanya uang. kalau mau terpandang maka harus ada uang, kalau mau terkenal harus ada uang, kalau mau berhasil harus ada uang, dan kalau tidak ada uang persahabatan melayang, gara-gara uang persaudaraan hilang, dan bisa jadi pekara uang percintaan rusak. banyak yang mengaku 'open minded' tapi tetap menyembah uang, banyak orang yang mengaku pintar tapi tetap mendewakan uang, lalu apa kabarnya orang-orang kelas 'teri' seperti gua. apa karena gua miskin nggak bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang yang banyak uang? apa karena gua gak punya banyak uang gua gak bisa bahagia? kalau bisa,lalu kenapa gua di abaikan, lalu kenapa gua jadi 'termarjinalkan'.
setelah satu jam lebih menunggu, pintu ruang tunggu terbuka. seorang wanita paruh baya dan berkaca mata, masuk sambil membawa beberapa kertas dan map. gua berdiri dan menyambutnya sambil mengulurkan tangan , wanita tersebut menjabat tangan gua , dan memperkenakan diri sebagai bu tia.
"mbak nagita ya?"
"iya bu..'
"udah lama?"
"lumayan bu...'
"interview di sini aja ya...'
"oh iya bu, nggak apa-apa''
bu tia mempersilahkan gua duduk kemudian beliau menutup pintu lalu duduk di sofa di sebrang gua. dan beberapa jam kemudian, kami sudah menyelesaikan interview dan saat ini sedang berada di ruangan bu tia buat menandatangani kontrak kerja gua selama 3 bulan , masa percobaan.
"gi... kamu nanti di bagian 'legal', kamu di proyeksikan buat gantiin salah satu karyawan yang mau risgn bulan depan. nah selama nunggu, sambil training di bagian 'import' dulu ya.."
"oh iya, gak masalah bu..'
"saya udah ngomong ke manager import-nya, namanya pak wisnu, dia sudah oke. kamu bisa langsung mulai hari ini kan..?"
"oh... bisa-bisa bu..."
" yaudah yuk saya anter ke bagian 'import..."
kemudian gua mengikuti bu tia berjalan melewati lorong-lorong di mana di bagian kiri-kananya terdapat bilik-bilik ruangan tempat para karyawan bekerja..
*langkah demi langkah yang kemudian mengantarkan gua ke sebuah cerita tentang bagaimana cinta merubah segalanya*
Bagus mba lanjut dong mba, semangattt yahhh
BalasHapus