Sudah hampir satu bulan ini gue menjalani masa probation di kantor baru. Dari segi pekerjaan boleh dibilang bidang yang gue tekuni sekarang hampir-hampir nggak ada tantangan, apalagi nanti gue bakal di tempatin di bagian legal, dimana di bagian itu menurut gua sama sekali nggak membutuhkan 'skil' khusus. Semuanya dikerjakan hanya berdasarkan 'countiniunitas' sehari-hari dan kemampuan negosiasi yang baik. Kalau di cermati memang nggak ada sekolah atau fakultas khusus dimana orang belajar untuk mengurus perjanjian domisili perusahaan, tanda perseroan terbatas, surat importir terdaftar, perjanjian reklame bahkan pengurusan pajak kendaraan bermotor. Semua dilakukan berdasarkan pengalaman sehari-hari dan seperti yang guebilang; kemampuan negosiasi yang baik. Negosiasi yang baik, tanpa 'link' dan koneksi yang luas juga tidak ada artinya.
Dan mungkin karena proses yang mudah dan nggak butuh 'skil' teknik khusus itu pula, gue jadi terdampar di bagian 'import' selama masa probation, bisa jadi juga karena 'korelasi' antar departement yang intens, atau mungkin takdir yang membawa gue ke sana, who is know. Dari segi kerjaan mungkin tidak ada kendala yang berarti. Tapi mungkin dunia sosial gue yang benar benar mengalami 'masa probation' yang sebenarnya. Senior gue, di bagian import; Rafi, benar-benar menjadi sosokyang di bilang untuk saat ini paling ingin gue hindari. Ya, walaupun gue nggak segen untuk bilang memang cakep sih, necis dan terlihat smart. Tapi dibalik itu semua, rafi seperti punya kepribadian yang aneh, nyaris mirip seorang 'aristrokrat' aman napoleon dulu, arogan,sengak dan egois yang ingin selalu menang sendiri.
Sebulan ini, gue di traning sama dia. Dan nggak sekalipun dalam satu hari, dia bersikap normal layaknya orang kebanyakan. hampir semua yang gue lakukan ( di luar content pekerjaan) selalu di anggap salah olehnya. Jangan makan sambil kerja, jangan letakan pulpen tanpa di tutup dulu, Jangan meninggalkan kursi membelakangi meja dan ratusan 'jangan' lainnya. Hidupnya seperti militer, stuck dalam berbagai macam aturan yang menurut gue malah membebani dirinya sendiri. Dan dia hampir ngak pernah bersikap ramah sama gue.
Suatu hari, Pak Wisnu manajer eksport-import yang terkenal 'kiler' datang menghampiri gue. Saar itu Rafi sedang tidak adadi tempatnya.
"Cari Rafi Pak...?"
Gue bertanya sambil mencoba bersikap ramah.
""Oh ndak..., justru cari kamu..."
"Saya Pak..?"
"Iya, gimana udah ngerti yang di ajarin Rafi?"
"Udah pak, udah paham..."
"Ok, besok kamu ke BPOM ya. Urus dokumen pindah, saya udah bicara ke manager legal"
"Wah, kalo urus-urus begitu saya belum begitu paham..."
"Ndak papa nanti minta temenin Rafi..."
Dan beberapa saat kemudian Rafi sudah duduk di sebelah gue sambil menuliskan catatan tentang dokumen-dokumen yang perlu di siapkan untuk dibawa besok ke kantor BPOM. Dia memberikan catatan itu ke gue, sebuah kertas note. Gue mendengarkan penjelasan singkatnya sambil mata gue tertuju ke tulisan tinta berwarna merah.
---------------
Entah apa yang ada dibenak cowok tengil dan ngeselin ini. Bisa-bsanya dia ngerjain gue dengan membiarkan gue menggunakan helm, sementara ia bawa mobil.Mungkin kalao nggak menimbang-nimbang tentang perlunya gue akan pekerjaan ini, gue pasti udah keluar dari sini, keluar dari situasi dimana gue terjebak dengan cowok ngeselin ini.
Ditengah perjalanan menuju kantor BPOM, didalam sebuah mobil CRV silver, setelah lama kita berdua tenggelam dalam diam, Rafi mulai membuka pembicaraan, awalnya dia bertanya tentang latar blakang pendidikan gue, yang mana gue nggak terlalu suka menjelaskan ke banyak orang. Lama kelamaan pertanyaannya semakin 'nggak jelas' dia mulai bertanya tentang konsep hukum fisika lah, teori relativitas enstein lah dan bahakan seakan mengetes gue, dia mengajukan soal -soal matamatika ke gue. 'What's wrong white this guy'
Mungkin jika Rafi nggak memiliki kepribadian aneh dan nggak selalu bertindak menyebalkan, dia mungkin bisa menjadi sosok ideal buat para cewek-cewek. Terkadang gue menangkap ada kebimbangan terpancar dari gelagatnya seminggu belakangan ini, dia sering terlihat kikuk, bingung dan gundah, seperti orang yang nggak punya 'pegangan' hidup.
Gua mennyusul Rafi setelah mengambil tiket nomor antrian untuk konsultasi perpindahan alamat. Rafi hanya duduk terdiam di sebelah guesambil memandangi kerumunan orang yang hilir mudik di ruangan ini. Kemudian dia mengeluarkan hp 'iphone' nya dan mulai hanyut dalam sebuah permainan di dalamnya, ini yang gue kurang suka, saat lu seharusnya bisa bersosialisasi dengan orang-orang di deket lu, elu malah asik dengan 'gadget'. Gue meminjam hp nya dengan alasan ingin mendengarkan musik. Dia menyerahkan hp dan earphonenya ke gue, sambil memutar lagu dan berlagak sambil melihat playlist-playlist yang ada di Hpnya. gue memeriksa pesan-pesan yang ada di hpnya. hehehe.... emang lu pikir, cuman lu doang yang bisa iseng.
----------------------
"Mau dianter ke rumah..?
"Hah, apa...?"
Gue balik bertanya ke Rafi yang menawarkan mengantar gue ke rumah sepulang dari kantor BPOM.
''Mau diantar ke rumah nggak...?"
"Eh, nggak..., nggak usah.., gue turun di palmerah aja... eh lu lewat palmerah kan..?"
''iya lewat,.... beneran nih nggak mau di anter sampai rumah...?"
"Bener,.... gue mau beli buah dulu.."
Gue menjawab bohong. Mencoba meyakinkan Rafi agar nggak perlu mengater gue ke rumah. Seperti biasanya, gue nggak mau ada orang tau dimana gue tinggal. Gue nggak mau ada orang yang lihat betapa menyedihkan tempat gue tinggal. Sebuah kontrakan dua petak di kawasan padat penduduk di belakang pasar yang biasa gue sebut 'Rumah'. Gue nggak mau ada orang lain tau, apalagi Rafi. Dan yang gue nggak habis fikir, malam setelah perjalanan ke kantor BPOM, Rafi menelfon gue, marah-marah kemudian mengajak gue jalan. Dan malam itu Rafi ngajak gue jalan, kemudian kami makan roti bakar di sebuh warung tenda di daerah Blok-M. ( Sebenernya hanya gue yang makan, jadi kurang tepat kalo menggunakan kata 'kami' ). Bisa di bayangkan betapa anehnya dia ngajak jalan, ngajak makan tapi dianya nggak makan. Dan seakan hal itu nggak cukup membuat gue 'shock' , sepulangnya dari sana di 'nembak' gue. 'what the hell...'
Sejak bertemu, hampir sebulan, dia nggak pernah ada manis-manisnya ke gue, tiba-tiba telpon sambil marah-marah, ngajak gue makan tapi dia nggak makan danakhirnya... nembakgue. Mungkin untuk ukuran cowok normal, hal itu bisa di bilang aneh, sangat aneh. Yang gue tau dan pastinya kebanyakan orang tau, tahap sebelum 'nemba' cewek, itu PDKT dulu, dalam proses PDKT itu sendiri biasanya si cowok bakal bersikap semanis mungkin di depan si cewek, setelah melalui proses penjajakan barulah si cowok nembak si cewek. Sedangkan perlakuan yang gue terima dari Rafi malah sebaliknya.
Malam itu sepulang makan roti di warung tenda di daerah Blok-M. Gue dan Rafi berteduh di 'emperan' ruko di daerah Melawai. Gue hanya terduduk, sambil berselimut jaket yang dipinjamkan Rafi ke gue, memandang tumpahnya air hujan yang menerpa aspal. Gue mererenung dan menatap percikan air hujan, mungkin percikan yang sama dengan yang gue tatap 10 tahun yang lalu, saat Ibu membisikan kata;
"Ndok.., Bapak udah nggak ada...".
Malam itu, malam 10 tahun yang lalu, malam dengan hujan yang sama seperti malam ini, saat itu gue terduduk di pelataran 'emperan' Rumah Sakit negri di daerah Jakarta pusat, saat gue memandangi Bapak yang terkulai kaku dan membiru, setelah berhari-hari merasakan sakit yang luar biasa, setelah berhari-hari Ibu bersusah payah mengurus surat keringanan berobat, setelah puluhan kali beradu argument dengan bagian administrasi Rumah Sakit karena tidak mampu membeli obat, akhirnya Bapak 'menyerah'. Gue hanya bisa menangis, mengiringi bapak yang tengah di dorong diatas kasur beroda menuju ke ambulan yang sudah siap menunggu. Sebuah Ambulan dengan tulisan besar; 'Melayani Tanpa Pamrih' akhirnya mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan terakhirnya.
"Gua suka sama lo..."
Sebuah kalimat yang diucapkan Rafi. Sebuah kalimat yang membuyarkan lamunan gue, sebuah kalimat yang membuat gue kaget, sangat kagert.
Dan disisa malamitu, sebuah malam yang terasa panjang. Gua mendekap hp di pelukan gue, setelah Rafi baru saja menelfon. Dia bilang khawatir terhadap gue dan gak bisa dipungkiri kalo gue suka akan hal itu. Ah perempuan mana yang nggak seneng diperhatikan. Sambil terus tersenyu-senyum sendiri, gue membayangkan sosok Rafi yang tengah berjalan memunggungi gue, tapi entah mengapa gue nggak berani membayangkan wajahnya, mungkin karena disatu sisi hati gue marasa takut. Takut kalo semua ini hanya mimpi, takut kalo Rafi hanya bermain-main belaka dan kalaupun Rafi bener-bener serius, gue takut dia bakal pergi setelah tau kondisi hidup gue, tapi satu sisi hati gue yang lain seperti ad bunga yang kembali mekar.
Part selanjutnya jangan lama-lama...
BalasHapuskeren kak ..., jgn lama2 yaaaa
BalasHapusPart selanjutnya ya sist..buruan diupload..thanks
BalasHapus